Arti Ibadah - Ustadz Abdul Hakim Bin Amir Abdat


Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. 51:56).

Banyak orang yang salah paham dalam memahami arti dari ibadah. Mereka menganggap ibadah hanyalah terbatas pada 5 hal yang tercantum dalam rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Padahal sebenarnya ibadah sendiri tidak mempunyai arti sesempit itu. Ibadah secara bahasa, menurut kamus al-Muhith tulisan Imam al-Fairuz Abadi, artinya adalah taat (patuh, tunduk). Sedang menurut istilah, sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Husain Abdullah dalam kitab Dirasaat fi al-Fikri al-Islami, memiliki dua arti: umum dan khusus. Arti ibadah secara umum “ inilah yang dimaksud oleh ayat 56 dari surah Adz-Dzariaat “ adalah mentaati segala ketentuan Allah baik menyangkut perintah maupun larangan. Secara khusus, ibadah berarti tiap kegiatan ritual dalam hubungan antara manusia dengan Allah, seperti shalat, puasa, doa, tilawah, sujud syukur, haji dan sebagainya (ibadah mahdah). Makna ibadah dalam arti khusus inilah yang dipakai dalam pembahasan kaidah-kaidah fiqih.
Syarat diterimanya ibadah ada 2:
1)
Ikhlas. Meniatkan amal ibadahnya hanya untuk Allah semata, tidak diselipkan keinginan-keinginan duniawi yang lain. Misalnya ingin mendapat pujian, ingin menarik hati lawan jenis, dll
Bahwasan-nya segala amal perbuatan itu tergantung pada niat, …” (HR. Bukhari-Muslim)
2)
Sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul
Ajaran Islam sudah sempurna.
Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan Aku ridho Islam sebagai agama bagimu. (QS Al-Maidah:3). Quran dan Hadist yang menjadi dasar hukum utama yang tidak perlu ditambahkan atau dikurangi. Barang siapa yang menambah-nambah ajaran Islam atau mengurangi maka sama saja ia beranggapan bahwa Islam belum sempurna dan masih banyak kecacatan. Rasulllah bersabda “Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut akan tertolak (HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718)). Perbuatan (amal) yang dimaksud di sini adalah amal ibadah. Maka barang siapa yang berinovasi dalam ibadah, yang tidak ada tuntunannya dari Quran dan Hadist maka ia melakukan perbuatan Bidah. Sedangkan Rasulullah bersabda . Hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru. Setiap perkara-perkara yang baru adalah bidah, dan setiap bidah adalah sesat. (HR. Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), Ahmad (IV/46-47) dan Ibnu Majah (no. 42, 43, 44). Hasan Shahih, dari Shahabat ˜Irbadh bin Saariyah Radhiyallahu ‘anhu)
Coba antum bayangkan bila ada yang mengerjakan shalat Shubuh 4 rakaat, apakah ada dalil yang melarangnya? Tidak. Tapi hal tersebut tidak ada tuntunannya, dan tuntunan yang jelas mengatakan Shalat Shubuh 2 rakaat. Maka bila ada yang mengerjakan shalat shubuh 4 rakaat sesatlah dia. Mengenai batasan bidah, ada beberapa perbedaan pendapat. Secara garis besar dibedakan menjadi 2 kelompok :
Kelompok Pertama 
Mereka yang meluaskan batasan bid’ah itu mengatakan bahwa bid’ah adalah segala yang baru diada-adakan yang tidak ada dalam kitab dan sunnah. Baik dalam perkara ibadah ataupun adat. Baik pada masalah yang baik atau yang buruk.
a. Tokoh 
Diantara para ulama yang mewakili kalangan ini antara lain adalah Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya seperti Al-’Izz ibn Abdis Salam, An-Nawawi, Abu Syaamah. Sedangkan dari kalangan Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani. Dari kalangan m1 seperti Ibnul Abidin dan dari kalangan Al-Hanabilah adalah Al-Jauzi serta Ibnu Hazm dari kalangan Dzahiri.
Bisa kita nukil pendapat Al-Izz bin Abdis Salam yang mengatakan bahwa bid`ah perbuatan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah, yang terbagi menjadi lima hukum. Yaitu bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah mandub (sunnah), bid’ah makruh dan bid’ah mubah.
b. Contoh 
Contoh bid’ah wajib misalnya belajar ilmu nahwu yang sangat vital untuk memahami kitabullah dan sunnah rasulnya. Contoh bid’ah haram misalnya pemikiran dan fikrah yang sesat seperti Qadariyah, Jabariyah, Murjiah dan Khawarij. Contoh bid’ah mandub (sunnah) misalnya mendirikan madrasah, membangun jembatan dan juga shalat tarawih berjamaah di satu masjid. Contoh bid’ah makruh misalnya menghias masjid atau mushaf Al-Quran. Sedangkan contoh bid’ah mubah misalnya bersalaman setelah shalat.
c. Dalil 
Pendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi lima kategori hukum didasarkan kepada dalil-dalil berikut :
1. Perkataan Umar bin Al-Khattab ra tentang shalat tarawih berjamaah di masjid bulan Ramadhan yaitu :
“Sebaik-baik bid’ah adalah hal ini.” 
2. Ibnu Umar juga menyebut shalat dhuha’ berjamaah di masjid sebagai bid’ah yaitu jenis bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik.
3. Hadits-hadits yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah seperti hadits berikut :
Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Siapa yang mensunnahkan sunnah sayyi’ah (kejelekan), maka dia mendapatkan ganjaran dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. 
Kelompok Kedua 
Kalangan lain dari ulama mendefinisikan bahwa yang disebut bid’ah itu semuanya adalah sesat, baik yang dalam ibadah maupun adat.
Diantara mereka ada yang mendifiniskan bid’ah itu sebagai sebuah jalan (
tariqah) dalam agama yang baru atau tidak ada sebelumnya (mukhtara’ah) yang bersifat syar`i dan diniatkan sebagai tariqah syar’iyah.
a. Tokoh 
Diantara mereka yang berpendapat demikian antara lain adalah At-Thurthusy, Asy-Syathibi, Imam Asy-Syumunni dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga ada Al-Baihaqi, Ibnu Hajar Al-`Asqallany serta Ibnu Hajar Al-Haitami dari kalangan Asy-Syafi’iyah. Dan kalangan Al-Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab dan Ibnu Taymiyah.
b. Contoh 
Contohnya adalah orang yang bernazar untuk puasa sambil berdiri di bawah sinar matahari atau tidak memakan jenis makanan tertentu yang halal tanpa sebab yang jelas (seperti vegetarian dan sebangsanya).
c. Dalil 
Dalil yang mereka gunakan adalah :
1. Bahwa Allah
Ta’ala telah menurunkan syariat dengan lengkap diantaranya adalah fiman Allah SWT :
 Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...(QS. Al-Maidah : 3)
2. Juga ayat berikut :
dan bahwa adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan , karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS> Al-An`am : 153)
3. Setiap ada hadits Rasulullah yang berbicara tentang bid’ah, maka selalu konotasinya adalah keburukan. Misalnya hadits berikut :
…bahwa segala yang baru itu bid’ah dan semua bid’ah itu adalah sesat.
Selain pembagian di atas maka sebagian ulama juga ada yang membuat klasifikasi yang sedikit berbeda, oleh para ulama bidah terbagi dua;
a.
 Bidah dalam adat kebiasaan (di luar masalah agama) seperti banyaknya penemuan-penemuan baru di bidang tekhnologi, hal tersebut dibolehkan karena asal dalam adat adalah kebolehan (al-ibahah)
b.
 Bidah dalam agama, mengada-ngada hal yang baru dalam agama. Hukumnya haram, karena asala dalam beragama adalah at-tauqief(menunggu dalil).
Namun dalam kaitannya dengan bidah dalam agama, para ulama ternyata juga masih memilah lagi menjadi dua bagian :
Pertama :
 Bidah perkataan yang berkaitan dengan masalah Itiqod
Seperti perkataan Jahmiyah, Mu
tazilah, Rafidhoh dan sekte-sekte sesat lainnya. Misalnya pendapat Mutazilah yang menyatakan bahwa Al-Quran adalah makhluk Alloh dan bukan firman-Nya.
Kedua:
 Bidah dalam beribadah, seperti melaksanakan suatu ritual ibadah yang tidak ada dalil syarinya. Bidah dalam ibadah ini terbagai beberapa macam:
a.
 Bidah yang terjadi pada asal ibadah, dengan cara mengadakan suatu ritual ibadah baru yang tidak pernah disyariatkan sebelumnya, contohnya adalah melaksanakan shaum seperti yang anaa sebutkan dengan tujuan agar dapat menguasai ilmu-ilmu tertentu, shalat Maghrib 4 rakaat,
b.
 Bidah dalam hal menambah Ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat sholat shubuh menjadi tiga.
c.
 Bidah dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang diwujudkan dengan melaksanakannya diluar aturan yang disyariatkan, contohnya melaksanakan dzikir sambil melakukan gerakan-gerakan tertentu.
d.
 Bidah dengan mengkhususkan waktu tertentu untuk melaksanakan ibadah masyru’. Seperti mengkhususkan pertengahan bulan Syaban dengan shaum dan sholat. Karena shaum dan sholat pada asalnya disyari’atkan akan tetapi pengkhususan pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut di waktu-waktu tertentu haruslah berdararkan nash (dalil-dali) dari Alloh dan rasul-Nya.
Saudaraku, mari kita evaluasi kembali ibadah kita. Apakah selama ini ibadah yang kita lakukan sudah sesuai tuntunan? Apakah didasari dalil yang shahih? Atau cuma sekedar ikut-ikutan saja? Atau cuma asal-asalan saja? Mari pelajari Islam lebih mendalam. (fmipaugm)
� + p a 0� �ߕ u nikmat-Ku dan Aku ridho Islam sebagai agama bagimu. (QS Al-Maidah:3). Quran dan Hadist yang menjadi dasar hukum utama yang tidak perlu ditambahkan atau dikurangi. Barang siapa yang menambah-nambah ajaran Islam atau mengurangi maka sama saja ia beranggapan bahwa Islam belum sempurna dan masih banyak kecacatan. Rasulllah bersabda “Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut akan tertolak (HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718)). Perbuatan (amal) yang dimaksud di sini adalah amal ibadah. Maka barang siapa yang berinovasi dalam ibadah, yang tidak ada tuntunannya dari Quran dan Hadist maka ia melakukan perbuatan Bidah. Sedangkan Rasulullah bersabda . Hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru. Setiap perkara-perkara yang baru adalah bidah, dan setiap bidah adalah sesat. (HR. Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), Ahmad (IV/46-47) dan Ibnu Majah (no. 42, 43, 44). Hasan Shahih, dari Shahabat ˜Irbadh bin Saariyah Radhiyallahu ‘anhu)
Coba antum bayangkan bila ada yang mengerjakan shalat Shubuh 4 rakaat, apakah ada dalil yang melarangnya? Tidak. Tapi hal tersebut tidak ada tuntunannya, dan tuntunan yang jelas mengatakan Shalat Shubuh 2 rakaat. Maka bila ada yang mengerjakan shalat shubuh 4 rakaat sesatlah dia. Mengenai batasan bidah, ada beberapa perbedaan pendapat. Secara garis besar dibedakan menjadi 2 kelompok :
Kelompok Pertama 
Mereka yang meluaskan batasan bid’ah itu mengatakan bahwa bid’ah adalah segala yang baru diada-adakan yang tidak ada dalam kitab dan sunnah. Baik dalam perkara ibadah ataupun adat. Baik pada masalah yang baik atau yang buruk.
a. Tokoh 
Diantara para ulama yang mewakili kalangan ini antara lain adalah Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya seperti Al-’Izz ibn Abdis Salam, An-Nawawi, Abu Syaamah. Sedangkan dari kalangan Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani. Dari kalangan m1 seperti Ibnul Abidin dan dari kalangan Al-Hanabilah adalah Al-Jauzi serta Ibnu Hazm dari kalangan Dzahiri.
Bisa kita nukil pendapat Al-Izz bin Abdis Salam yang mengatakan bahwa bid`ah perbuatan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah, yang terbagi menjadi lima hukum. Yaitu bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah mandub (sunnah), bid’ah makruh dan bid’ah mubah.
b. Contoh 
Contoh bid’ah wajib misalnya belajar ilmu nahwu yang sangat vital untuk memahami kitabullah dan sunnah rasulnya. Contoh bid’ah haram misalnya pemikiran dan fikrah yang sesat seperti Qadariyah, Jabariyah, Murjiah dan Khawarij. Contoh bid’ah mandub (sunnah) misalnya mendirikan madrasah, membangun jembatan dan juga shalat tarawih berjamaah di satu masjid. Contoh bid’ah makruh misalnya menghias masjid atau mushaf Al-Quran. Sedangkan contoh bid’ah mubah misalnya bersalaman setelah shalat.
c. Dalil 
Pendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi lima kategori hukum didasarkan kepada dalil-dalil berikut :
1. Perkataan Umar bin Al-Khattab ra tentang shalat tarawih berjamaah di masjid bulan Ramadhan yaitu :
“Sebaik-baik bid’ah adalah hal ini.” 
2. Ibnu Umar juga menyebut shalat dhuha’ berjamaah di masjid sebagai bid’ah yaitu jenis bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik.
3. Hadits-hadits yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah seperti hadits berikut :
Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Siapa yang mensunnahkan sunnah sayyi’ah (kejelekan), maka dia mendapatkan ganjaran dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. 
Kelompok Kedua 
Kalangan lain dari ulama mendefinisikan bahwa yang disebut bid’ah itu semuanya adalah sesat, baik yang dalam ibadah maupun adat.
Diantara mereka ada yang mendifiniskan bid’ah itu sebagai sebuah jalan (
tariqah) dalam agama yang baru atau tidak ada sebelumnya (mukhtara’ah) yang bersifat syar`i dan diniatkan sebagai tariqah syar’iyah.
a. Tokoh 
Diantara mereka yang berpendapat demikian antara lain adalah At-Thurthusy, Asy-Syathibi, Imam Asy-Syumunni dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga ada Al-Baihaqi, Ibnu Hajar Al-`Asqallany serta Ibnu Hajar Al-Haitami dari kalangan Asy-Syafi’iyah. Dan kalangan Al-Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab dan Ibnu Taymiyah.
b. Contoh 
Contohnya adalah orang yang bernazar untuk puasa sambil berdiri di bawah sinar matahari atau tidak memakan jenis makanan tertentu yang halal tanpa sebab yang jelas (seperti vegetarian dan sebangsanya).
c. Dalil 
Dalil yang mereka gunakan adalah :
1. Bahwa Allah
Ta’ala telah menurunkan syariat dengan lengkap diantaranya adalah fiman Allah SWT :
 Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...(QS. Al-Maidah : 3)
2. Juga ayat berikut :
dan bahwa adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan , karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS> Al-An`am : 153)
3. Setiap ada hadits Rasulullah yang berbicara tentang bid’ah, maka selalu konotasinya adalah keburukan. Misalnya hadits berikut :
…bahwa segala yang baru itu bid’ah dan semua bid’ah itu adalah sesat.
Selain pembagian di atas maka sebagian ulama juga ada yang membuat klasifikasi yang sedikit berbeda, oleh para ulama bidah terbagi dua;
a.
 Bidah dalam adat kebiasaan (di luar masalah agama) seperti banyaknya penemuan-penemuan baru di bidang tekhnologi, hal tersebut dibolehkan karena asal dalam adat adalah kebolehan (al-ibahah)
b.
 Bidah dalam agama, mengada-ngada hal yang baru dalam agama. Hukumnya haram, karena asala dalam beragama adalah at-tauqief(menunggu dalil).
Namun dalam kaitannya dengan bidah dalam agama, para ulama ternyata juga masih memilah lagi menjadi dua bagian :
Pertama :
 Bidah perkataan yang berkaitan dengan masalah Itiqod
Seperti perkataan Jahmiyah, Mu
tazilah, Rafidhoh dan sekte-sekte sesat lainnya. Misalnya pendapat Mutazilah yang menyatakan bahwa Al-Quran adalah makhluk Alloh dan bukan firman-Nya.
Kedua:
 Bidah dalam beribadah, seperti melaksanakan suatu ritual ibadah yang tidak ada dalil syarinya. Bidah dalam ibadah ini terbagai beberapa macam:
a.
 Bidah yang terjadi pada asal ibadah, dengan cara mengadakan suatu ritual ibadah baru yang tidak pernah disyariatkan sebelumnya, contohnya adalah melaksanakan shaum seperti yang anaa sebutkan dengan tujuan agar dapat menguasai ilmu-ilmu tertentu, shalat Maghrib 4 rakaat,
b.
 Bidah dalam hal menambah Ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat sholat shubuh menjadi tiga.
c.
 Bidah dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang diwujudkan dengan melaksanakannya diluar aturan yang disyariatkan, contohnya melaksanakan dzikir sambil melakukan gerakan-gerakan tertentu.
d.
 Bidah dengan mengkhususkan waktu tertentu untuk melaksanakan ibadah masyru’. Seperti mengkhususkan pertengahan bulan Syaban dengan shaum dan sholat. Karena shaum dan sholat pada asalnya disyari’atkan akan tetapi pengkhususan pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut di waktu-waktu tertentu haruslah berdararkan nash (dalil-dali) dari Alloh dan rasul-Nya.
Saudaraku, mari kita evaluasi kembali ibadah kita. Apakah selama ini ibadah yang kita lakukan sudah sesuai tuntunan? Apakah didasari dalil yang shahih? Atau cuma sekedar ikut-ikutan saja? Atau cuma asal-asalan saja? Mari pelajari Islam lebih mendalam. (fmipaugm)

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.